Minggu, 13 Januari 2013

Menguak Rahasia Hidup Seorang Geisha (3)

DAYA TARIK SEORANG GEISHA - WANITA PENGHIBUR JEPANG

Sebelumnya, Baca dulu :

Rahasia Kehidupan Seorang Geisha Part 1 :

Menguak Rahasia Kehidupan Seorang Geisha Part 2 :

Kata “menarik” dapat berbeda tergantung pada budaya dan masanya. Memang seorang pengunjung Amerika cukup beruntung dapat mengunjungi sebuah pesta di Dion daerah Kyoto dimana geisha mungkin menjadi mengecewakan. Hal yang mereka catat adalah bahwa geisha terlalu dibuat-buat. Bedak putih di wajahnya terlalu tebal, senyumnya tidak menarik dan gerakanya aneh. Nyanyian mereka tampak aneh dan musik samishennya tanpa melodi. Tariannya, yang sangat berbeda dengan irama di dunia barat bisa terlihat tidak bagus. Berbeda jauh dengan masa pada saat geisha muncul, banyak generasi muda Jepang yang juga tidak memberikan apresiasi kepada geisha. Mereka mungkin sudah biasa dengan gerakan dan melodi dari geisha, namun mungkin mereka berfikir bahwa itu semua terlalu ketinggalan jaman. Namun bagi orang asing yang open mind dan bagi orang Jepang yang bercitarasa masa lalu atmosfir pesta geisha yang mengkombinasikan warna, harmoni, suara dan gerakan dengan iteligensi dan humor tidaklah demikian.
Rahasia Kehidupan Geisha


Sensibilitasnya menunjukkan intimasi sosial.
Daya tarik geisha menyeimbangkan antara ketulusan kasih sayang dan kesenian. Hal ini terjadi tanpa menafikan bahwa geisha harus mempunyai sensualitas tertentu. Kata untuk ini dalam bahasa jepang adalah iroke, atau secara harfiah berarti “semangat warna”. Ini bukan semata-mata daya tarik seksual, tapi rasa seni yang diciptakan dalam berpakaian dan bahasa tubuh. Ini dapat dilihat dengan sangat jelas dalam percakapan yang saling memberi dan menerima.

Sekitar tahun 1800 ketika geisha tampil ke depan, mereka menunjukan model yang berani. Geisha menjadi personifikasi dari iki, sebuah kata yang masih digunakan hingga saat ini untuk menggambarkan sikap dingin. Secara kasual ini memang elegan, kekuatan pemahaman tentang bagaimana sesuatu harus dikerjakan. Seratus limapuluh tahun lalu seorang geisha mengenakan make up terang, komono dengan warna yang kental dan pola-pola sederhana, dengan obi tergantung di punggung. Penampilan geisha yang sederhana adalah bagian dari peraturan yang ditujukan agar geisha tidak menyaingi yujo, tapi malah salah kaprah. Penampilan geisha sangat berlawanan dengan yujo membuat yujo tampak ketinggalan jaman. Geisha hanya mempunyai beberapa pin di rambut, sedangkan yujo tampak seperti dikerubuti serangga. Seorang yujo yang ditandai dengan warna perak dan emas dengan naga menghadap ke atas atau ditaruh dimana saja menjadi terlalu membatasi dengan geisha. Geisha menggantikan yujo dengan mepersonifikasikan semangat perubahan revolusioner pada saat itu.

Iki dilahirkan dari iklan. Iki berasalah dari keberanian khusus yang dimiliki geisha untuk seni. Misalnya sebagai tanda kekuatan karakter geisha tidak pernah mengenakan kaos kaki tabi. Cetakan-cetakan Ukiyo-e sering menunjukkan ibu jari seorang geisha tampak lebih sebagai iki saat ibu geisha berjalan di atas salju. Geisha bisa juga tampak menampakkan maskulinitas. Beberapa daerah di Edo (sekarang Tokyo) merupakan daerah munculnya iki. Di Fukugawa wilayah Edo, geisha memulai fashion dengan mengenakan pakaian dalam haori, aslinya adalah jaket pria yang menonjolkan sensualitas yang lambat laut diikuti oleh semua wanita yang mengenakan kimono.

Sekarang ini geisha bukan lagi sebagai trendsetter model. Mereka adalah penegak tradisi, mengenakan kimono setiap hari seperti yang dilakukan oleh hanya sedikit wanita Jepang. Pada kesempatan-kesempatan resmi, mereka tampak seperti yujo yang sudah punah: mengenakan make up tebal dan berat dan mengenakan kimono penuh ornamen. Namun geisha masih menjadi model jika berada dalam tempat-tempat yang lebih kecil. Berpakaian adalah bagian dari seni mereka. Hal ini membuktikan bahwa dalam pakaian dan kesempurnaan geisha merupakan indikasi kesadaran mereka. Geisha masih menghabiskan sebagian besar pendapatannya untuk penampilanya, berhutang untuk membeli obi dan kimono yang mewah dan model terbaru. Jika dia bisa menampilkan karya yang paling artistik pembuat komono, maka reputasinya semakin baik. Seorang geisha mencari tamu murni dengan seni yang ada di komononya sebagai pintu untuk memasuki dunianya. Walaupun gesiha tidak lagi mempengaruhi fashion secara umum, mereka masih terus membuat model baru untuk kimono, pada tahun 1970 geishalah yang pertama kali memulai fashion dengan komono pastel.

Bagi orang Barat mungkin menjadi teka-teki bahwa daya tarik geisha seharusnya berubah seiring usia. Ada dua jenis geisha. Geisha yang cantik, yang karena kecantiannya segera mendapatkan jodoh. Mereka pensiun karena kerut. Jenis lain adalah geisha yang tidak tergantung pada kecantikanya namun pada kepandainnya berbicara. Mereka mendapatkan tamu dengan kepandaian kata-katanya. Dia tahu kekuatan anekdot dan seni merayu tanpa menyerang. Dibalik senyum dan rasa humornya mereka lebih manusiawi. Geisha jenis ini yang bisa-bisa mempunyai hanamachi di masa tuanya dan lebih banyak dirindukan setelah kematiannya.

SENI SEORANG GEISHA

Kebanggaan seorang geisha tergantung paga gei atau seninya. Gei merupakan hal penting bagi geisha sejak profesi ini mulai ada, ketika geisha disewa karena kemampuan menari dan menyanyinya. Sekarangpun tetap sama, ketika seorang wanita muda menjadi geisha sebagian besar adalah karena kecintaan mereka terhadap musik dan tari tradisional. Sebagai seorang geisha mereka dapat tampil sebagai profesional, bukan sebagai amatir.

Gei seorang geisha terutama terbentuk dari permainan shamisen dan tari tradisional, namun hal tersebut juga menjadi arah bagi seni tradisional lainnya seperti: kaligrafi, kemampuan menulis puisi, dan jamuan minum teh. Geisha pada masa sebelum perang, yang mengikuti pelatihan yang sangat keras, sangat ahli dalam berbagai jenis musik dan tari. Geisha jaman sekarang sebagain besar hanya menguasai satu jenis musik atau tari.
Geisha harus tahu persis tentang seni agar seni bisa menjadi karakternya yang kedua. Pertama-tama mereka belajar dengan hafalan. Belajar dengan hafalan ini penting agar seorang geisha dapat menyesuaikan diri dengan penyanyi dan penari. Semakin spontan keadaannya, semakin besar daya tarik seninya.

GEISHA DAN KABUKI
Ada hubungan yang kuat antara seni geisha dan kabuki, sebuah bentuk teater ala Jepang dimana menyanyi, menari dan aksi panggung dikemas dalam satu acting. Entertainer Okuni, seorang pendeta wanita muda agama Shinto, pertama kali mempertunjukkan tarian kabuki dan sketsa komik pada tahun 1600. Daya tarik penampilan groupnya di panggung (dan kesiapanya di luar panggung), menyebabkan kekacauan, dan pada tahun 1629 wanita tidak diperbolehkan melakukan pementasan panggung. Sesudah itu, kabuki seluruhnya berisi pria-bahkan untuk peran wanita yang hingga saat ini masih dipentaskan.
Sebagai tambahan terhadap hubungan sejarah antara Okuni dan penghibur wanita yang kemudian disebut geisha ada juga hubungan artistik. Kabuki pria dan geisha melebur dalam tempat hiburan dimana tarian wanita masih diperbolehkan untuk pertunjukan pribadi sesudah tahun 1629. Dengan demikian gei dari seorang gesiha langsung diambil dari istilah pada Kabuki. Tarian geisha terutama pada sekolah-sekolah di Tokyo, sangat terpengaruh oleh tarian gaya kabuki, sedangkan lagu-lagu geisha kadang-kadang seringkali sama dengan lagu-lagu yang dinyanyikan di panggung kabuki.

SHAMISEN
Shamisen adalah instrumen musik yang terdiri dari drum yang dibuat dari kulit kucing dengan tiga senar yang terbuat dari sutra yang digantungkan sepanjang leher dengan tiga paku yang terbuat dari gading untuk menyelaraskan nadanya. Instrumen itu dimainkan dengan pick dari gading. Musiknya dirancang untuk mengiringi suara manusia. Jika dimainkan dengan bagus alat tersebut mempunyai resonansi emosional yang besar.

Geisha menjadi trend seiring dengan permintaan akan musik shamisen. Dimulai pada tahun 1700-an, geisha disewa untuk memainkan nada-nada ini dengan alat yang diimport dari China melalui Korea. Jika ada sesuatu yang melambangkan geisha, itu adalah alat musik yang menyerupai Banjo. Bagi para musisi geisha, sebuah shamisen adalah sahabat sejatinya. Dia mungkin menyebutnya sebagai o-shami. Dalam cetakan ukiyo-e kehadiran shamisen lebih dapat mengidentifikasi seorang geisha dibandingkan model rambut atau pakaianya. Sekarang tidak semua geisha tampil dengan shamisen di muka umum, namun semua dilatih untuk memainkanya.

Pada awalnya shamisen digunakan untuk mengiringi tembang-tembang rakyat. Bersamaan dengan ini munculah tradisi ko-uta (lagu pendek) dan naga-uta (lagu panjang). Ada jenis lagu yang berbeda pada koleksi saat ini. Ada lagu-lagu romantis yang dibaca seperti puisi. Mereka seringkali menggunakan imaginasi natural. Banyak diantaranya bercerita tentang penantian terhadap seorang kekasih. Kebalikannya, ada juga nada-nada yang disebut kappore, kadang-kadang berupa lagu rakyat dari daerah, nada-nada gembira yang membuat pedengarnya memainkan sepatunya. Hal ini lebih tergantung pada ritme kata-katanya dari pada imaginasi puitisnya.

TARIAN
Sekarang ini geisha yang paling berhasil utamanya adalah para penari dan terutama dilihat oleh masyarakat umum dalam pertunjukan tari. Geisha bukanlah satu-satunya penari tradisional jepang, namun banyak alasan kenapa mereka masih tetap hidup. Tariannya bervariasi mulai dari pertunjukan dengan koreografer yang bagus pada pesta-pesta sampai pada tarian geisha pedesaan yang dipertunjukkan di festival-festival lokal.
Walaupun gerakan-gerakan tari tradisional tampak sederhana di mata orang barat, tarian tersebut tidak dibuat untuk tarian di ballroom atau balet. Pusat keseimbangan tubuh sangat rendah, kaki kadang harus menekukkan lutut ke lantai, bisa jadi muncul gerakan yang tiba-tiba setelah nampaknya hampir tidak ada gerakan. Kimono merupakan sebagian alasan bagi gerakan tarian Jepang yang unik.

GEISHA SAAT INI

Secara periodik, artikel-artikel pada media di Jepang membuat geisha terdengar seperti spesies yang berbahaya. Media biasanya hanya memfokuskan pada bagaimana sekarang hanya ada maiko, atau geisha dalam pelatihan geisha di Kyoto dan mereka adalah para wanita muda yang direkrut dari wilayah-wilayah yang yang bersedia menjadi maiko sebentar saja. Mungkin dalam beberapa dekade ke depan geisha akan musnah. Namun demikian jika geisha tetap mempertahankan musik dan tari tradisional Jepang, geisha akan tetap menjadi harta karun dan tetap menjadi lambang bagi Jepang.

Kehidupan geisha telah berubah sejak jaman sebelum perang. Gadis-gadis tidak lagi dijual pada rumah geisha. Mizuage (virginitas) adalah masa lalu. Meski banyak orang menjadi geisha karena alasan ekonomi, seorang geisha bebas memilih majikanya dan boleh mempunyai pacar. Saat ini, para wanita muda bersedia menjadi geisha karena keinginan mereka untuk mengabdikan diri pada tari atau samishen. Pelatihannya bisa jadi sangat singkat, hanya dalam waktu setahun, walaupun tampaknya jika mereka berkeinginan untuk belajar seninya akan memerlukan waktu lebih lama. Sementara lebih dari seabad lalu geisha berada dalam lingkaran selebriti, sekarang mereka bekerja dan menetap untuk menyangga tradisi. Jika mereka hanya semata-mata menginginkan uang, mereka lebih baik bekerja sebagai hostess dari pada sebagai geisha. Fungsi hostess pada acara kumpul-kumpul malam pada saat ini banyak kesamaannya dengan apa yang dilakukan geisha pada masa lampau. Para hostess kelas tinggi ini cantik, berpakaian mahal, wanita dengan model fashion terbaru. Club-club semacam itu, terutama di daerah Akasaka atau Ginza, merupakan tempat-tempat untuk melakukan negosiasi bisnis yang tricky jika dilakukan di kantor. Sekarang ini, simpanan orang-orang penting lebih banyak mantan hostess dari pada mantan geisha. Saat ini hostess banyak berperan sebagai broker (calo) bisnis dan rahasia pemerintah, jauh dari peran geisha. Seperti geisha sebelumnya, hostess terbaik saat ini adalah mereka yang tahu kapan saatnya berbicara dan kapan saatnya harus diam. Saat memasuki usia pertengah hostess mempunyai kecukupan finansial dengan menjadi mama-san di club miliknya.

Peran gesiha mengalamiperubahan pada dekade sekarang ini seiring dengan berubahnya budaya sosiali dan seksualisasi. Pandangan tentang seksual di Jepang mengalami perubahan dari generasi ke generasi. Sebelum masa perang ada gadis kafe dan sesudah masa perang orang tergila-gila pada sutorippu (tari telanjang). “Hotel Cinta” yang disewakan berdasarkan jam menjadi populer pada tahun 1960-an. Kebebasan seksual terkini adalah anak-anak sekolah yang memanfaatkan “club telepon”, dimana mereka menghibur para pria untuk mendapatkan uang demi untuk mendapatkan barang-barang bermerek, misalnya tas bermerek. Banyak dari trend semacam ini menjadi pembicaraan di media dari pada menjadi pembicaraan publik. Namun semua berpangkal pada moral seksual yang berubah secara drastis di Jepang.

Di Jepang saat ini tidak mengherankan jika daya erotis yang melekat pada karya seni beberapa ratus tahun lalu semakin berkurang. Namun di Jepang geisha masih mempunyai tujuan. Pesta paling mewah dari perusahaan-perusahaan besar masih menggunakan entertainment geisha. Di masa-masa mendatang, sepanjang masih ada wanita muda yang ingin menampilkan tarian tradional dan memainkan samishen secara profesinal mungkin mereka akan menjadi geisha. Dan geisha akan tetap ada sepanjang masih ada pria Jepang yang menginginkan dunia yang hanya dapat diciptakan oleh geisha-apakah hanya untuk menunjukkan kehalusan mereka atau untuk kepuasan duniawi mereka, atau karena mereka benar-benar menghargai harta karun masa lalu. END
Jika ada yang kurang tepat atau keberatan atas posting ini blog saya mohon maaf dan sekaligus minta ijin untuk mempost di sini. Saya hanya bermaksud membantu para mahasiswa atau siapa saja yang mencari referensi tentang geisha yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Lumayanlah bisa dapat terjemahan gratis karena buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Inggris.

Tulisan ini boleh disebarluaskan kemana saja dan bagi siapa saja secara gratis namun tidak untuk tujuan komersial (non commercial purposes) dan mohon kesediaanya untuk mencantumkan link www.armhando.com dan sumber penterjemahnya (http://deltapapa.wordpress.com) Bukan apa-apa hanya sedikit promosi, siapa tahu ada yang meminta http://deltapapa.wordpress.com untuk menterjemahkan tulisan, buku, artikel atau apapun dari bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia dan sebaliknya. Mudah-mudahan ada manfaatnya.[sumber;http://deltapapa.wordpress.com]
◄ Newer Post Older Post ►